Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum Budi Gunadi Sadikin mengatakan produksi Freeport Indonesia kembali stabil pada 2023. Perusahaan pertambangan emas ini diperkirakan akan mencetak laba bersih US$ 2 miliar per tahun setelah 2023.
Menurut Budi, Inalum akan mendapat US$ 1 miliar per tahun setelah tambang bawah tanah Freeport beroperasi. Budi juga optimistis Inalum tetap bisa melunasi utang meski saat ini pendapatan Freeport merosot akibat berhentinya tambang terbuka Grasberg. "Jadi kalau kami utang US$ 4 miliar, bisa diselesaikan dalam empat tahun, bunganya juga rendah hanya 6 persen," ujar dia di KAHMI Center, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019.
Setelah utang itu lunas, kata Budi, duit US$ 1 miliar per tahun itu bahkan bisa menjadi keuntungan Inalum. "Ini akan berproduksi maksimal di sekitar 2023, dan nanti akan mulai stabil," ujar Budi. "Jangan dimarahi kalau produksi turun di 2019 dan 2020, bukan karena tambangnya habis."
Budi melanjutkan dalam keadaan stabil tersebut, Freeport bakal memiliki pendapatan sebesar US$ 7 miliar atau sekitar Rp 98 triliun per tahun dengan asumsi nilai tukar Rp 14 ribu per dolar AS. Selanjutnya, laba bersih perseroan dalam keadaan stabil diprediksi US$ 4 miliar atau RP 56 triliun.
Pada kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengatakan EBITDA Freeport diperkirakan turun dari US$ 4 miliar menjadi sekira US$ 1 miliar saja pada tahun ini. Namun, ia menegaskan pendapatan Freeport turun bukan lantaran perkara menipisnya cadangan maupun kadar barang tambang di sana. Penurunan itu disebabkan proses produksi di tambang bawah tanah Grasberg masih belum dimulai.
Setelah tambang bawah tanah beroperasi, Bambang optimistis pendapatan PT Freeport Indonesia bakal mulai naik kembali. "Sejak 2020 dan 2021 akan naik lagi sampai 2025, nanti 2025 akan mulai stabil," ujar Bambang.
Akhir tahun lalu, Inalum menebus 51,2 persen saham perusahaan Freeport Indonesia senilai US$ 3,85 miliar atau Rp 55,8 triliun (dengan kurs Rp 14.500). Aksi korporasi tersebut setelah Inalum melunasi transaksi divestasi saham Freeport, Jumat, 21 Desember 2018.
Untuk menguasai saham Freeport Inalum menerbitkan obligasi valuta asing senilai US$ 4 miliar atau Rp 58 triliun. Selain membeli saham, sisa hasil obligasi digunakan untuk refinancing. Inalum menunjuk BNP Paribas, Citigroup, dan MUFG untuk menjadi koordinator underwriter atau penjamin emisi penerbitan obligasi. Sedangkan CIMB, Maybank, SMBC Nikko, dan Standard Chatered Bank ditunjuk sebagai mitra underwriter.
Akibat turunnya pendapatan, Budi mengatakan Freeport Indonesia tidak bakal membagikan dividen selama dua tahun hingga 2020. "Jadi kita enggak bakal bagi dividen selama dua tahun, nol sampai 2020," ujar Budi.
Untuk mengoperasikan tambang bawah tanah Grasberg, ujar Budi, Freeport membutuhkan investasi sebesar US$ 1,1 - 1,4 miliar per tahun. "Itu di luar smelter," ujar dia di KAHMI Center, Jakarta, Rabu, 9 Januari 2019.
Tambang bawah tanah Grasberg, kata Budi, sampai sekarang memang belum berproduksi. Budi mengakui investasi untuk pertambangan itu sempat telat sebelum proses divestasi saham Freeport kelar.
No comments:
Post a Comment